===Pasya, tokoh cerita ini, punya cerita menarik, atau setidaknya menarik untuk dia..===
Dear diary, lupa kapan tepatnya kejadiannya, tapi belum lama aku rasa.
Waktu itu hujan deras banget, badai sejadi-jadinya. Malam itu aku baru aja bantu kakak ku jual komputer, komisinya? lumayanlahhhh..hehehe
Aku sudah kelaparan dari sore, dan jam waktu itu jam tanganku sudah menunjukkan angka 08.30. Cacing dalam perut sudah konser, hampir menggelepar, singkatnya aku sudah amat sangat laparrrrrrr!! Misi utama : cari warung nasi goreng!!
Saat akan pulang, mampir dulu di pomp bensin, pikir-pikir nanti aja beli nasgor deket rumah… yooooooooooooo
Walau sudah pakai jas hujan, teuteup aza basah kuyup bowww..wong badainya kaya gitu š¦
OK! sampe nih di pomp bensin.. ANTRI! ANTRI! Aku udah nyiapin 10 rb an di kantong plus beberapa lembar komisi jual komputer tadi sore, tapi kayanya pake 10 rb an aja, pedalem uang komisi yang masih mulus semulus kulit bintang iklan sabun hehehe
Antrian di depan ngga begitu panjang, sebelum aku ada seorang bapak, cukup tua, kuperhatikan motornya, rada ga terawat..upppzzz motorku juga sih, yang uda keseringan aku janjiin dibelai servisan montir langganan yang GUD dengan ongkos yang tentunya GUD juga. Hukzz.. Aku harap motorku tersayang ga jadi ngambek dijanjiin melulu (jangan yaaaaa..!)
Beralih dari motor tuanya, kulihat helm yang dipakai bapak itu, warnanya kuning. Mengerti kan, kalo ada bapak-bapak naik motor pake helm kuning, dan bawa helm cadangan pula, biasanya profesinya itu? apa anak-anak?? (Ojekkkk bu guru….) yakkk 100 buat kalian….. hehehehe
Tanpa sengaja mataku tertuju pada beberapa lembar uang ribuan lecek yang diberikan bapak tua tadi pada petugas pengisi BBM. Dan aku pastilah tidak terlalu ambil pusing seandainya petugas tadi menerima uang tadi denga sikap biasa saja. TAPIIII!! TAPIII!!!
Betapa terkejutnya, melihat petugas itu melemparkan pandangan sinis plus senyum mengejek saat menerima lima lembar ribuan lusuh itu.
Padahal uang ribuan lecek itu bisa saja lembar-lembar yang tersisa di kantong bapak tua itu. Kupikir, mungkin tumpangan hari ini sepi, terlintas pertanyaan di kepalaku, sudahkah bapak ini makan malam, anak istrinya sedang menunggu di rumah, dalam keadaan yang sama laparnya denganku sekarang.
Ya Tuhannnn… belum habis umpatanku dalam hati untuk sikap tidak simpatik petugas itu (maaf Tuhan) sudah tiba giliranku mengisi bensin. Karena aku sudah menggenggam uang 10 rb sedari tadi, refleks kuserahkan pada petugas tadi (jerk!) Melihatku pun dia tersenyum. Kali ini senyum menggoda. Menggodaku untuk muntah maksudku. Cepat-cepat kualihkan pandanganku. Bapak tua tadi masih menepi di sebelahku, mencari-cari sesuatu.
Apa? sisa uang lusuh lain yang mungkin nyelip di kantong celana? entahlah.. mungkin saja.
Tangki motorku sudah penuh, kututup sadelnya. Duduk diatas motor, kustarter motor dan menunggu jarumnya naik. =sedikit tips dariku, jangan memasukkan persneling kemudian menjalankan motor langsung setelah mengisi bensin. cozini BERBAHAYA! mesin motor bisa kebanjiran bensin dan mati, perlu waktu menghidupkannya lagi…pernah ngalamin sihh.. konyol. Jadi sekarang aku selalu menunggu jarumnya naik dulu, baru menjalankan motor tua..eh..motor kesayanganku.=
Bapak itu masih diam ditempat..linglung.. (OHH NO..)
Aku menjalankan motor sampai pintu keluar pomp bensin..BIMBANG. Aku memutar otak bagaimana caranya membantu bapak itu. Jadi aku sengaja menunggunya, berharap bapak itu satu arah denganku. Arahku sendiri ke Timur. Kuperhatikan kaca spion, bapak itu mulai menjalankan motornya… deg..deg…
Hujan sudah tidak seganas tadi, tapi masih cuku deras. Ougghhhhh..
Bapak tadi berhenti tepat di sebelahku, kami sama-sama menunggu saat tepat untuk menyeberang ke TIMUR! Bingo!
“Pak”, sapaku pada beliau. “Bapak rumahnya dimana?”
“Gianyar..” sahut bapak itu pelan sekali
“Apa bensin bapak cukup?” Bapak itu agak mengerenyit, tidak yakin dengan pendengarannya, “Apa?” Bapak itu bertanya lagi, dan aku mengulang lagi pertanyaanku.
Kemudian Bapak itu menjawab “Cukup” dengan bimbang. Ah! yang benar saja, tentu tidak cukup pikirku. Motor yang dipakai bapak itu motor laki-laki yang dulu pernah dimiliki alm. bapakku juga, yang selalu mengeluhkn betapa boros dan berisiknya motor itu hingga akhirnya menjualnya karena jengkel.
Hatiku sudah mantap, kuraba saku dan menarik selembar dari komisiku, melipatnya cepat dan menyerahkan kepada sang bapak, dengan punggung tangan menghadap langit. Sejenak beliau segan, namun, mendengarku bilang “Ga apa-apa pak, biar bapak bisa sampai rumah”. Bapak itu menatap mataku beberapa detik lalu meraih genggamanku dan menggumankan terima kasih (sepertinya) tapi aku tidak menangkap jelas suaranya karena langsung menyeberang jalan dan “terbang” bersama motorku.
Fiuuhhh..perasaanku laksana dibelai sang bayu. Kurasakan kebahagiaan dalam hatiku, rasa laparku entah kemana, lenyap seketika. Sebenarnya jumlah uang komisi tadi pas sekali untuk membayar tagihan teleponku, tapi yaaaa.. sudahlah, pasti uang itu jauh lebih berarti untuk dibelikan beberapa bungkus nasi goreng untuk anak istrinya yang kelaparan sampai kenyang.
Do i look so sentimentil? well.. don’t really care.. coz that is so true..